Editor's PickHot TopicsJeparaMust Read

KETIKA PANCASILA BERBICARA: MELAWAN KEGELAPAN DENGAN CAHAYA PERSATUAN

Penulis

<em>Jamaludin Malik, S.H.</em>

Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar – Komisi XIII
Daerah Pemilihan Jawa Tengah II

Refleksi Seorang Wakil Rakyat dalam Membumikan Semangat Bhinneka Tunggal Ika di Tengah Badai Radikalisme

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya ketika ideologi yang selama ini kita yakini sebagai pemersatu bangsa tiba-tiba dipertanyakan, bahkan diserang dari berbagai sudut? Ketika nilai-nilai yang telah mengakar dalam jiwa bangsa ini mulai goyah di hadapan gelombang pemikiran yang mengklaim diri sebagai “kebenaran absolut”? Inilah yang saya rasakan ketika untuk pertama kalinya berhadapan langsung dengan realitas pahit penyebaran radikalisme di tanah kelahiran saya sendiri – Jawa Tengah bagian utara.

Sebagai wakil rakyat yang diamanahi mewakili suara tiga kabupaten bersejarah—Jepara dengan keanggunan ukirannya, Kudus dengan warisan para wali, dan Demak sebagai gerbang masuk Islam Nusantara—saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari akan berhadapan dengan ancaman yang begitu serius terhadap keberagaman yang selama ini menjadi kebanggaan daerah ini. Namun, kenyataan berbicara lain. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mencatat bahwa dalam kurun waktu 2019-2023, tidak kurang dari 15 kasus penangkapan individu yang terindikasi terlibat jaringan terorisme terjadi di wilayah yang saya wakili.

Angka itu bukan sekadar statistik dingin di atas kertas. Di baliknya tersimpan cerita keluarga yang hancur, komunitas yang terpecah, dan yang paling menyakitkan, hilangnya kepercayaan terhadap sesama. Melihat kondisi ini, saya bertanya pada hati: sudah tepatkah cara kita selama ini memahami dan menghayati Pancasila? Atau jangan-jangan, kita telah terlalu nyaman dengan slogan tanpa pernah benar-benar membumikan nilai-nilainya?

Ketika Keberagaman Berhadapan dengan Keseragaman Paksa

Mari kita mulai perjalanan ini dengan melihat potret demografis daerah yang saya wakili. Kabupaten Jepara dengan populasi 1.227.168 jiwa, Kudus dengan 849.184 jiwa, dan Demak dengan 1.265.294 jiwa—secara keseluruhan mencapai 3,2 juta jiwa yang mayoritas beragama Islam. Namun, mayoritas di sini bukan berarti monolitik dalam pemikiran. Justru sebaliknya, ketiga daerah ini adalah representasi sempurna dari kekayaan tradisi Islam Nusantara yang toleran dan inklusif.

Pernahkah Anda merenung mengapa Sunan Kudus memilih mempertahankan simbol-simbol Hindu-Buddha dalam arsitektur masjidnya? Atau mengapa para wali di Demak dengan bijaksana mengadopsi tradisi lokal dalam dakwah mereka? Jawabannya sederhana namun mendalam: mereka memahami bahwa kebenaran tidak perlu dipaksakan melalui kekerasan atau penghilangan identitas yang sudah ada. Inilah esensi dari Bhinneka Tunggal Ika yang sayangnya mulai terkikis oleh arus pemikiran yang ingin menyeragamkan segalanya.

Data survei Wahid Foundation tahun 2022 menunjukkan angka yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Pemahaman tentang Hak Asasi Manusia di wilayah ini mencapai indeks 7,8 dari skala 10—angka yang relatif baik. Namun, ketika digali lebih dalam, 23% dari kasus radikalisme yang teridentifikasi dipicu oleh pemahaman agama yang literalis dan eksklusif. Ini paradoks yang menarik: bagaimana mungkin di daerah yang memiliki pemahaman HAM yang baik, masih tumbuh benih-benih intoleransi?

Jawabannya terletak pada gap antara pemahaman intelektual dan implementasi praktis. Kita mungkin secara teoritis memahami toleransi, tetapi ketika berhadapan dengan perbedaan yang konkret—entah dalam ritual keagamaan, pilihan politik, atau gaya hidup—kita kerap kali terjebak dalam zona nyaman homogenitas. Inilah mengapa program yang saya inisiasi tidak berhenti pada sosialisasi, tetapi menyentuh hingga ke akar perubahan perilaku.

Pancasila Bukan Museum, tetapi Jalan Hidup

Terlalu lama kita memperlakukan Pancasila sebagai benda antik yang indah dipandang tetapi tidak layak disentuh dalam kehidupan sehari-hari. Kita hafal kelima silanya di luar kepala, tetapi lupa mengaplikasikannya dalam interaksi dengan tetangga yang berbeda keyakinan. Kita bangga dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tetapi gelisah ketika anak kita berteman dengan yang berbeda agama. Inilah yang saya sebut sebagai “amnesia ideologis”—mengingat kata-katanya tetapi melupakan maknanya.

Dalam peran saya sebagai anggota Komisi XIII DPR RI yang bermitra kerja dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, saya melihat langsung bagaimana kebijakan di tingkat pusat seringkali terseok-seok ketika sampai di tingkat grassroot. Bukan karena tidak ada political will, tetapi karena pendekatan yang terlalu birokratis dan kurang menyentuh aspek emosional masyarakat.

Ambil contoh sederhana: sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yang telah kami laksanakan di banyak desa dan kelurahan di Dapil Jateng II. Awalnya, tingkat partisipasi hanya mencapai 76% karena masyarakat menganggapnya sebagai “kegiatan pemerintah” yang wajib dihadiri tetapi tidak relevan dengan kehidupan mereka. Namun, ketika kami mengubah pendekatan menjadi dialog interaktif yang mengaitkan nilai-nilai Pancasila dengan persoalan sehari-hari—seperti gotong-royong membangun jalan desa atau mengatasi konflik lahan—partisipasi melonjak menjadi rata-rata 88,3%.

Ini mengajarkan kita bahwa Pancasila bukan doktrin yang harus ditelan mentah-mentah, tetapi wisdom yang perlu dikunyah, dicerna, dan dirasakan manfaatnya. Ketika seorang petani di Demak memahami bahwa sila kelima tentang keadilan sosial berarti dia berhak mendapat akses yang sama terhadap bibit unggul dan pupuk bersubsidi, saat itulah Pancasila menjadi hidup dan bermakna.

Mengurai Benang Kusut Radikalisme

Jika kita hendak jujur, radikalisme bukanlah fenomena yang muncul dalam ruang hampa. Ada faktor-faktor kompleks yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya pemikiran ekstrem. Laporan Pusat Analisis dan Evaluasi BNPT mengidentifikasi bahwa 45% dari kasus radikalisme di wilayah saya dipicu oleh pengaruh media sosial dan propaganda online, 32% karena kondisi sosial-ekonomi yang rentan, dan 67% akibat lemahnya pembinaan ideologi Pancasila di tingkat grassroot.

Namun, apakah cukup jika kita hanya fokus pada angka-angka ini? Saya kira tidak. Di balik setiap angka tersebut tersembunyi cerita manusia yang jauh lebih kompleks. Ada frustrasi terhadap ketidakadilan, ada pencarian identitas di tengah modernitas yang menggerus nilai-nilai tradisional, ada kerinduan untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Pernahkah kita bertanya: mengapa seorang pemuda yang terdidik dan berasal dari keluarga baik-baik bisa terpapar paham radikal? Jawabannya seringkali bukan pada kemiskinan atau kebodohan, tetapi pada kekosongan spiritual dan pencarian makna hidup yang tidak terpenuhi. Inilah mengapa pendekatan counter-radikalisme yang hanya mengandalkan kekuatan represif kerap kali tidak efektif dalam jangka panjang.

Mari saya ceritakan kasus yang menggugah. Pada tahun 2023, kami menangani seorang mahasiswa di Kudus yang terpapar paham radikal melalui media sosial. Dia bukan berasal dari keluarga miskin, prestasi akademiknya baik, dan secara sosial tergolong populer di kampus. Namun, di balik itu semua, dia merasa hampa dan mencari “kebenaran” yang bisa memberikan arah hidup yang jelas.

Ketika ditanya mengapa tertarik dengan ideologi ekstrem, jawabannya sederhana namun mengejutkan: “Saya lelah dengan kehidupan yang penuh kemunafikan. Di sini (dalam kelompok radikal), saya menemukan kejelasan tentang baik dan buruk, tentang siapa kawan dan siapa lawan.” Ini menunjukkan bahwa radikalisme tidak hanya soal ideologi, tetapi juga tentang psikologi manusia yang mencari kepastian di tengah dunia yang semakin kompleks dan ambivalen.

Strategi Perlawanan: Dari Hati ke Hati

Menghadapi tantangan ini, saya menyadari bahwa pendekatan konvensional tidak akan cukup. Diperlukan strategi yang lebih holistik, yang tidak hanya menyentuh aspek kognitif tetapi juga emosional dan spiritual. Inilah yang saya sebut sebagai “strategi dari hati ke hati”—mengajak orang untuk tidak hanya memahami tetapi juga merasakan keindahan keberagaman.

Program pertama yang kami luncurkan adalah pembentukan Kader Pancasila yang tersebar di seluruh desa. Tetapi ini bukan kader dalam pengertian politik partisan, melainkan “duta keberagaman” yang bertugas menjadi teladan hidup nilai-nilai Pancasila. Mereka dipilih bukan berdasarkan afiliasi politik, tetapi berdasarkan kapasitas untuk menjadi jembatan antar-komunitas yang berbeda.

Salah satu kader yang paling berkesan adalah Mbah Slamet, seorang tokoh masyarakat di Jepara yang berusia 67 tahun. Dengan latar belakang sebagai pengrajin ukir kayu, dia mungkin tidak akan pernah terpikir untuk menjadi “aktivis Pancasila.” Namun, ketika kami menjelaskan bahwa setiap ukiran yang dia buat adalah manifestasi dari sila pertama Pancasila tentang keindahan ciptaan Tuhan, matanya berbinar. “Oalah, berarti selama ini saya sudah mempraktikkan Pancasila tanpa sadar,” katanya dengan senyum tulus.

Inilah kekuatan pendekatan yang mengaitkan ideologi dengan kehidupan nyata. Ketika Mbah Slamet mulai menceritakan kepada para pengrajin lain tentang bagaimana kesenian tradisional adalah wujud nyata dari nilai-nilai Pancasila, pesan itu menjadi lebih kredibel dan autentik dibandingkan jika disampaikan oleh pejabat pemerintah.

Generasi Digital dan Tantangan Baru

Salah satu tantangan terbesar yang kami hadapi adalah bagaimana menjangkau generasi digital native yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya daripada dunia nyata. Data monitoring menunjukkan bahwa 45% kasus radikalisme dipicu oleh propaganda online, dan sebagian besar target adalah anak muda berusia 18-30 tahun.

Menyadari hal ini, kami tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional seperti ceramah di balai desa atau sosialisasi door to door. Diperlukan inovasi yang mampu “berbicara” dalam bahasa generasi digital. Maka lahirlah program “Pancasila Youth Ambassador” yang melatih pemuda menjadi content creator media sosial dengan total followers tinggi.

Tetapi ini bukan sekadar soal jumlah followers atau engagement rate. Yang lebih penting adalah kualitas konten yang diproduksi. Kami tidak ingin menciptakan propaganda tandingan, tetapi narasi alternatif yang lebih menarik dan relevan dengan kehidupan anak muda. Ketika mereka membuat video tentang toleransi, itu bukan berupa dakwah menggurui tetapi storytelling yang menghibur sekaligus menginspirasi.

Salah satu video yang viral adalah karya Dina, seorang youth ambassador dari Jepara yang membuat konten tentang “Kuliner Nusantara sebagai Wujud Bhinneka Tunggal Ika.” Melalui video cooking show yang mengajarkan resep dari berbagai daerah, dia secara halus menyampaikan pesan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus dirayakan, bukan dihindari.

Membangun Benteng dari Dalam

Pengalaman menangani radikalisme mengajarkan saya bahwa pertahanan terbaik adalah yang dibangun dari dalam, bukan yang dipaksakan dari luar. Masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang memiliki “antibodi” alami terhadap virus ekstremisme. Dan antibodi itu tidak lain adalah pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai keberagaman yang telah mengakar dalam tradisi Nusantara.

Inilah mengapa kami fokus pada revitalisasi Islam Nusantara melalui pelibatan majelis taklim yang mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kajiannya. Ini bukan upaya untuk mengubah ajaran agama, tetapi untuk mengangkat kembali tradisi Islam yang toleran dan inklusif sebagaimana yang diajarkan para wali.

Ketika KH. Muhammad Ali Masrukhin, pengasuh pondok pesantren Nailul Muna di Kalipucangwetan, Welahan, Jepara, mulai mengajarkan bahwa konsep “jihad” yang sesungguhnya adalah berjuang untuk membangun peradaban yang berkeadilan, bukan berperang melawan yang berbeda keyakinan, para santrinya mulai memahami Islam dengan perspektif yang lebih luas. “Islam itu rahmatan lil alamin—rahmat bagi seluruh alam,” katanya dalam salah satu pengajian. “Bagaimana mungkin rahmat bisa disebarkan melalui kekerasan?”

Pendekatan ini terbukti efektif. Evaluasi Kementerian Agama menunjukkan bahwa pemahaman tentang Islam moderat meningkat 38% di wilayah sasaran. Lebih penting lagi, tidak ada satu pun santri dari pesantren yang terlibat dalam program ini yang terindikasi terpapar paham radikal.

Mengukur yang Tak Terukur

Pertanyaan yang sering diajukan adalah: bagaimana mengukur keberhasilan program yang sifatnya ideologis dan behavioral? Memang tidak mudah mengkuantifikasi toleransi atau mengukur tingkat Pancasilais seseorang. Namun, ada beberapa indikator yang bisa kita gunakan sebagai parameter.

Survei Wahid Foundation menunjukkan peningkatan indeks toleransi yang signifikan di ketiga kabupaten. Jepara naik dari 3,67 menjadi 3,89, Kudus dari 3,72 menjadi 3,91, dan Demak dari 3,61 menjadi 3,85. Angka-angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi dalam konteks perubahan sosial, peningkatan sekecil itu sudah sangat bermakna.

Yang lebih penting adalah perubahan kualitatif yang bisa kita rasakan dalam interaksi sehari-hari. Frekuensi konflik horizontal menurun drastis, partisipasi dalam kegiatan lintas agama meningkat, dan yang paling menggembirakan, generasi muda mulai bangga dengan identitas ke-Indonesia-an mereka yang beragam.

Salah satu momen yang paling berkesan adalah ketika saya menghadiri Festival Budaya Pancasila di Kudus tahun 2024. Melihat 45.000 orang dari berbagai latar belakang berkumpul, saling berbaur, saling menghargai, dan merayakan perbedaan dengan penuh sukacita, saya merasakan bahwa semua upaya yang telah dilakukan tidak sia-sia. Inilah wajah Indonesia yang sesungguhnya—beragam tetapi bersatu, berbeda tetapi harmonis.

Tantangan yang Tak Pernah Berakhir

Namun, saya tidak naif untuk berpikir bahwa perjalanan ini sudah selesai. Radikalisme adalah fenomena yang dinamis, terus berevolusi dan mencari celah-celah baru untuk menyebar. Ketika kita berhasil membendung satu saluran, mereka akan mencari saluran lain. Ketika satu narasi berhasil kita bantah, mereka akan menciptakan narasi baru yang lebih sophisticated.

Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana menghadapi “radikalisme digital” yang semakin canggih. Dengan menggunakan artificial intelligence dan big data analytics, kelompok-kelompok ekstrem kini mampu melakukan targeting yang sangat presisi terhadap individu-individu yang rentan. Mereka tidak lagi menyebarkan propaganda secara massal, tetapi melakukan pendekatan personal yang jauh lebih efektif.

Selain itu, ada tantangan politik yang tidak kalah serius. Polarisasi politik yang semakin tajam seringkali dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk melegitimasi agenda mereka. Ketika isu SARA menjadi komoditas politik, ruang bagi dialog dan rekonsiliasi menjadi semakin sempit.

Refleksi: Ketika Pancasila Kembali Bersuara

Setelah menjalani perjalanan panjang ini, saya semakin yakin bahwa Pancasila bukanlah ideologi yang usang atau tidak relevan dengan zaman modern. Justru sebaliknya, di tengah dunia yang semakin terpolarisasi dan konfliktual, nilai-nilai Pancasila menjadi semakin precious dan needed.

Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan kita untuk humble di hadapan Yang Maha Kuasa, sekaligus menghormati cara orang lain dalam berkomunikasi dengan Tuhan-nya. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengingatkan kita bahwa setiap manusia memiliki dignity yang tidak boleh dilanggar, apapun latar belakang mereka. Persatuan Indonesia menegaskan bahwa di atas semua perbedaan, kita adalah satu bangsa dengan satu nasib. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan mengajarkan kita untuk menyelesaikan perbedaan melalui dialog, bukan violence. Dan Keadilan Sosial mengingatkan kita bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya adalah ketika setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap kesempatan untuk berkembang.

Lima nilai ini bukan utopia yang tidak mungkin dicapai, tetapi guidance system yang sangat praktis untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika kita berhasil menginternalisasi nilai-nilai ini, radikalisme dan ekstremisme tidak akan menemukan tempat untuk berkembang.

Visi ke Depan: Indonesia sebagai Mercusuar Toleransi

Visi yang ingin saya capai adalah melihat Indonesia, khususnya Jawa Tengah bagian utara, menjadi model bagi dunia tentang bagaimana keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Bagaimana perbedaan bisa menjadi sumber kreativitas dan inovasi, bukan sumber konflik dan perpecahan.

Bayangkan jika turis yang berkunjung ke Jepara tidak hanya melihat keindahan ukiran kayu, tetapi juga merasakan kehangatan toleransi antar-umat beragama. Bayangkan jika wisatawan yang datang ke Kudus tidak hanya berziarah ke makam Sunan Kudus, tetapi juga menyaksikan bagaimana umat Islam, Kristen, dan Buddha bekerja sama membangun perekonomian lokal. Bayangkan jika peziarah yang berkunjung ke makam Wali Songo di Demak tidak hanya mendapat berkah spiritual, tetapi juga inspirasi tentang bagaimana Islam bisa menjadi rahmatan lil alamin dalam praktik nyata.

Ini bukan mimpi kosong. Data menunjukkan bahwa kunjungan wisata ke ketiga kabupaten ini telah meningkat secara signifikan sejak program dimulai. Jepara naik 34%, Kudus 28%, dan Demak 42%. Yang lebih penting, survey kepuasan wisatawan menunjukkan bahwa aspek “keramahan dan toleransi masyarakat lokal” mendapat skor tertinggi.

Ajakan untuk Bergerak Bersama

Namun, semua pencapaian ini tidak akan sustainable jika hanya mengandalkan inisiatif pemerintah atau wakil rakyat semata. Diperlukan gerakan kolektif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Setiap individu memiliki peran masing-masing dalam mewujudkan Indonesia yang Pancasilais.

Para tokoh agama memiliki peran krusial untuk terus menyuarakan ajaran yang toleran dan inklusif. Para educator di semua level harus berani mengintegrasikan nilai-nilai keberagaman dalam proses pembelajaran. Para content creator dan influencer perlu menggunakan platform mereka untuk menyebarkan pesan positif tentang persatuan. Para pengusaha bisa berkontribusi melalui business practice yang inklusif dan program CSR yang mendukung toleransi.

Dan yang paling penting, setiap warga negara biasa memiliki kekuatan untuk menjadi agen perubahan di lingkungan mereka masing-masing. Mulai dari hal sederhana seperti menyapa tetangga yang berbeda agama, ikut merayakan keberagaman dalam acara komunitas, atau sekadar tidak menshare konten yang bisa memicu perpecahan di media sosial.

Pesan Penutup: Ketika Cahaya Mengalahkan Kegelapan

Dalam penutup refleksi ini, izinkan saya kembali pada pertanyaan di awal: pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya ketika ideologi yang kita yakini mulai dipertanyakan? Setelah menjalani perjalanan yang panjang dan berliku ini, saya menemukan jawabannya.

Ketika ideologi dipertanyakan, itu bukan tanda kelemahan tetapi kesempatan untuk membuktikan kekuatannya. Ketika nilai-nilai mulai goyah, itu saatnya untuk menegakkannya kembali dengan fondasi yang lebih kuat. Dan ketika keberagaman diserang, itu momentum untuk menunjukkan bahwa perbedaan justru adalah anugerah yang harus dirayakan.

Perjalanan melawan radikalisme di Jawa Tengah bagian utara mengajarkan saya bahwa cahaya sekecil apapun mampu mengalahkan kegelapan yang sebesar apapun. Setiap program yang berhasil, setiap individu yang berubah, setiap komunitas yang berdamai, adalah lilin-lilin kecil yang secara kolektif mampu menerangi jalan menuju Indonesia yang lebih toleran dan harmonis.

Namun, cahaya itu tidak akan menyala dengan sendirinya. Diperlukan tangan-tangan yang berani menyalakannya, hati-hati yang ikhlas memeliharanya, dan tekad-tekad yang kuat untuk terus menjaganya agar tidak padam diterpa badai.

Saya percaya bahwa setiap pembaca tulisan ini memiliki potensi untuk menjadi penyala lilin tersebut. Dalam kapasitas apapun, di posisi manapun, dengan kemampuan seberapapun, setiap orang bisa berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang Pancasilais.

Ketika seorang ibu mengajarkan anaknya untuk berteman dengan siapa saja tanpa memandang latar belakang, dia sedang menanamkan benih toleransi. Ketika seorang guru mengintegrasikan cerita tentang keberagaman dalam pembelajaran, dia sedang membentuk generasi yang menghargai perbedaan. Ketika seorang pengusaha memberikan kesempatan yang sama kepada semua pelamar kerja, dia sedang mempraktikkan keadilan sosial. Ketika seorang tokoh masyarakat memfasilitasi dialog antar-kelompok yang berbeda, dia sedang membangun jembatan persatuan.

Inilah yang saya sebut sebagai “revolusi kebaikan” – perubahan yang dimulai dari hal-hal kecil namun berdampak besar. Revolusi yang tidak mengandalkan kekerasan tetapi kekuatan teladan. Revolusi yang tidak memaksakan keseragaman tetapi merayakan keberagaman.

Epilog: Pancasila yang Hidup

Ketika saya pertama kali terpilih sebagai wakil rakyat, saya mungkin tidak pernah membayangkan bahwa tugas terberat yang akan saya hadapi adalah mempertahankan ideologi bangsa dari serangan yang datang dari dalam. Namun, perjalanan ini mengajarkan saya bahwa menjadi negarawan sejati bukan hanya soal membuat undang-undang atau mengawasi pemerintah, tetapi juga menjaga jiwa bangsa agar tetap hidup dan bernapas.

Pancasila bukan sekadar lima kalimat yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila adalah living ideology yang harus terus bernapas melalui tindakan nyata kita sehari-hari. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar motto yang terukir di lambang negara. Bhinneka Tunggal Ika adalah prinsip hidup yang harus diwujudkan dalam setiap interaksi sosial kita.

Data statistik yang telah saya paparkan – peningkatan indeks toleransi, penurunan kasus radikalisme, pertumbuhan ekonomi keberagaman – semua itu penting sebagai indikator keberhasilan. Namun, yang jauh lebih penting adalah transformasi yang terjadi di level individual dan komunitas. Ketika seorang mantan simpatisan radikal kini menjadi pengusaha sukses yang mempekerjakan orang dari berbagai latar belakang, itu adalah kemenangan yang sesungguhnya. Ketika anak-anak muda lebih bangga menjadi Indonesia yang beragam daripada tergiur dengan ideologi impor yang seragam, itu adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa.

Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Revolusi toleransi yang kita butuhkan tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi melalui akumulasi tindakan-tindakan kecil yang konsisten dan berkelanjutan. Setiap senyuman kepada tetangga yang berbeda keyakinan, setiap pembelaan terhadap yang minoritas, setiap penolakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, adalah kontribusi nyata dalam membangun Indonesia yang lebih baik.

Dalam dinamika politik yang sering kali memecah belah, dalam arus globalisasi yang menggerus identitas lokal, dalam gempuran teknologi yang bisa menyesatkan atau mencerahkan, Pancasila tetap menjadi kompas yang dapat diandalkan. Lima sila yang sederhana namun komprehensif itu mampu memberikan guidance untuk menghadapi tantangan apapun di masa depan.

Mari kita jadikan Indonesia sebagai bukti hidup bahwa unity in diversity bukan hanya mungkin, tetapi juga profitable – baik secara ekonomi, sosial, maupun spiritual. Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa berbeda tidak berarti bermusuhan, dan beragam tidak berarti terpecah.

Ketika suatu hari nanti sejarah mencatat perjuangan generasi ini, saya berharap akan tertulis: “Pada masa ketika dunia dilanda gelombang intoleransi dan ekstremisme, Indonesia berhasil membuktikan bahwa keberagaman adalah kekuatan, toleransi adalah kearifan, dan persatuan adalah takdir yang harus diperjuangkan.”

Dan perjuangan itu, saudara-saudari sebangsa, dimulai dari sekarang, dimulai dari diri kita masing-masing, dimulai dari tempat kita berpijak. Karena Indonesia yang Pancasilais bukan warisan yang kita terima dalam keadaan jadi, tetapi amanah yang harus kita wujudkan bersama-sama.

Bhinneka Tunggal Ika – berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Bukan sekadar slogan, tetapi way of life. Bukan sekadar cita-cita, tetapi realitas yang harus kita hidupi setiap hari.

Mari bergerak bersama, membangun Indonesia yang kita cintai dan kita banggakan. Indonesia yang menjadi rumah bagi semua, pelindung bagi yang lemah, dan mercusuar toleransi bagi dunia. Wallahu a’lam bishawab.

Dikutip dari situs resmi Jamaludin Malik ( https://jamaludinmalik.id/ )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *